Ketidakadilan merupakan lawan kata dari keadilan yang memiliki arti sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.[1] Adapun yang dimaksud dengan adil ialah sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran, sepatutnya, tidak sewenang-wenang.[2] Lebih lanjut, Aristoteles secara rinci menerangkan pengertian tentang keadilan dan membedakannya menjadi dua, yakni keadilan Distributif dan Commutatif. Dimana keadilan distributif ialah yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya atau perbuatannya. Sedangkan keadilan commutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan (disamaratakan).[3]
Dewasa ini, fenomena tentang ketidakadilan masih sering menjadi perdebatan di tengah-tengah masyarakat. Sebab ada yang menganggap tidak adil jika seseorang dihukum sama beratnya dengan orang lain hanya karena tindak pidana yang dilakukannya sama. Akan tetapi, dilain sisi ada juga yang manganggap tidak adil jika terjadi perbedaan hukuman antara orang yang satu dengan yang lain sedangkan tindak pidana yang dilakukan ialah sama. Sehingga berdasarkan kerumitan tersebut, kita harus memahami dan sepakat bahwa esensi keadilan tidak harus selalu “mata ganti mata, gigi ganti gigi” (lex talionis – dalam Kitab Imamat 24:19-21).[4] Hal tersebut dikarenakan dalam setiap tindak pidana yang terjadi, terdapat hal-hal tertentu yang menjadi dasar atas tindakan tersebut. Sehingga untuk menilai dan menjatuhkan hukuman atas suatu tindak pidana tidak cukup hanya berfokus pada akibatnya, tetapi juga harus memperhatikan sebab mengapa hal tersebut dapat terjadi.
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, tidak terlepas dari hukum sebab-akibat (teori kausalitas).[5] Sehingga segala tindak pidana yang telah terjadi harus dicari dan ditemukan apa penyebabnya. Jadi dengan ditemukannya penyebab yang mendasari suatu tindak pidana, maka pertimbangan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman semakin jelas, serta memiliki dasar yang kuat. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam hukum, suatu perbuatan tidak dapat dipidana jika tidak ada kesalahan.[6] Karena sekalipun terdapat kesalahan di dalam suatu perbuatan/tindakan, jika perbuatan/tindakan tersebut tidak memenuhi unsur dalam suatu ketentuan pasal, maka tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Atau jika terdapat perbuatan/tindakan yang sama tetapi terdapat faktor-faktor tertentu yang membedakan, maka hal tersebut akan mempengaruhi hukuman yang dijatuhkan (ringan atau berat, tergantung dari faktor-faktor pendukung; contohnya faktor “direncanakan dahulu”menyebabkan pembunuhan berencana Pasal 340 lebih berat hukumannya dibandingkan dengan pembunuhan biasa Pasal 338).
Meskipun faktor-faktor pendukung dalam suatu tindak pidana sangat penting, akan tetapi permasalahan yang menentukan adil atau tidaknya hukuman yang dijatuhkan juga dipengaruhi oleh hukumnya/undang-undang. Jadi bagaimana jika permasalahan juga muncul dari peraturan perundang-undangan yang multitafsir dan justru menimbulkan celah bagi pelaku tindak pidana untuk lepas dari suatu tindak pidana atau juga sebaliknya, celah hukum tersebut digunakan oleh aparat penegak hukum menekan, memeras, menindas atau mengkriminalisasikan seseorang yang patut diduga melakukan suatu tindak pidana.
Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang lahir atas dasar penyesuaian terhadap perkembangan zaman yang sangat dinamis. Sehingga wajar penggunaan Bahasa dalam undang-undang tersebut, cenderung terkesan baru atau bahkan sama sekali tidak pernah didengar. Hal tersebut dimungkinkan karena istilah yang digunakan mungkin merupakan istilah asing yang diserap ke Bahasa Indonesia, atau bahkan istilah tersebut bisa saja murni merupakan Bahasa Asing. Seperti halnya Undang-Undang ITE yang belakangan ini ramai diperbincangkan, sebab selain usia undang-undang tersebut yang dirasa relatif masih baru. Akan tetapi karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, ditambah lagi dengan ketertinggalan undang-undang yang tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi dapat menjadi celah multitafsir, atau bahkan substansi pasal yang seharusnya tidak sesuai dapat serta-merta dikenakan dan terkesan seperti dipaksakan.[7]
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi agar tidak terjadi ketidakadilan akibat penggunaan pasal yang multitafsir dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, melalui peran aktif masyarakat untuk mengajukan pengujian materil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar ke Mahkamah Konstitusi ataupun ke Mahkamah Agung untuk peraturan yang di bawah Undang-Undang. Sedangkan yang kedua melalui peran Lembaga Legislasi yang dituntut agar mempertimbangkan dengan matang terkait perancangan produk hukum yang akan dihasilkan. Sehingga hal tersebut berbanding lurus dengan kinerja dan kompetensi dari oknum-oknum yang ada di Lembaga Legislasi. Karena orang-orang yang bobrok akan melahirkan hukum bobrok. Jadi untuk mengatasi permasalahan terkait persoalan ketidakadilan, hal yang terutama diperbaiki ialah aparat penegak hukumnya, kemudian substansi atau isi undang-undang/peraturan dan yang terakhir ialah budaya hukum/kesadaran hukum.[8] Selain itu, kita sebagai masyarakat awam juga harus memperbaiki pola pikir agar tidak secara spontan menghakimi. Seharusnya kita juga memberikan ruang pihak yang disangka melakukan tindak pidana untuk membela dirinya, sehingga dengan begitu akan terwujudlah hukum yang fair (adil). Karena seseorang tidak dapat dianggap bersalah, selama belum diputuskan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum.
[1] KBBI Daring - https://kbbi.kemendikbud.go.id/entri/keadilan (diakses 11 Agustus 2021, 12:25 PM)
[2] Ibid., https://kbbi.kemendikbud.go.id/entri/adil (diakses 11 Agustus 2021, 12:30 PM)
[3] L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004), hlm.
11-12.
[4] Imamat 24:19-20, yang berbunyi : “Apabila seseorang membuat orang sesamanya bercacat, maka seperti yang telah dilakukannya, begitulah harus dilakukan kepadanya: patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi; seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya”.
[5] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hlm. 169. Pertama kali dicetuskan oleh Von Buri tahun 1873 yang dikenal dengan Teori Conditio Sine Qua Non, yakni bahwa “semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan dengan causa (penyebabnya)”.
[6] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta : Rajawali Pers, 2002), hlm. 67. Teori tersebut merupakan Teori Pertanggungjawaban Pidana, yang bunyinya : “Geen straf zonder schuld atau Actus non facit reum nisi mens sist rea”.
[7] Lihat pada laman Medcom.id, https://www.medcom.id/nasional/hukum/PNgWQGPN-penangkapan-jerinx-dinilai-dipaksakan (diakses 23 Agustus 2021, 12:15 PM) “Dilatarbeakangi oleh kritik Jerinx terhadap kebijakan IDI yang mewajibkan rapid, sementara hasilnya tidak akurat. Sehingga, Jerinx meluapkan kekesalannya tersebut pada media sosialnya dan menyebut ‘IDI Kacung WHO’, Bandingkan dengan https://kumparan.com/kumparannews/alasan-jerinx-posting-idi-kacung-who-lapor-prosedur-kesehatan-dipersulit-1twq7qGQHCM/4”
[8] Lihat Teori Sistem Hukum menurut Lawrence M. Friedman, yang mengemukakan tiga elemen utama dari sistem hukum (legal system), ialah Struktur Hukum (Legal Structure), Isi Hukum (Legal Substance) dan Budaya Hukum (Legal Culture).