cropped-frans_law_firm-removebg.png
DAPATKAH PANDEMI COVID-19 DIJADIKAN SEBAGAI ALASAN FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN?

Menurut Black’s Law Dictionary, force majeure adalah “an event or effect that can be neither anticipated nor controlled”. Adapun menurut Subekti dalam buku Hukum Perjanjian, Force Majeure atau keadaan memaksa merupakan pembelaan debitur untuk menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan, disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tadi. Force Majeure atau keadaan memaksa adalah suatu alasan untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi yang dikemukakan oleh pihak kreditur.

Dalam hukum perdata materiil Indonesia istilah force majeure memang tidak diatur secara tegas. Terminologi force majeure juga tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Namun, dapat dilihat dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1244 KUHPerdata

Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.

Pasal 1245 KUHPerdata

Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force majeure adalah :

  1. Adanya kejadian yang tidak terduga
  2. Adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan
  3. Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur
  4. Ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.[1]

Dari ketentuan Pasal 1244, Pasal 1245 KUHPerdata dan Black’s Law Dictionary tersebut terdapat benang merah yakni pihak tidak dapat diminta ganti rugi dalam hal terdapat keadaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya atau diluar kendali yang wajar karena adanya faktor eksternal.[2]

Karena luasnya kemungkinan keadaan atau situasi force majeur, maka para pihak untuk mendapatkan kepastian hukum biasanya mencantumkan klausul dengan daftar peristiwa yang dapat menjadi force majeure dalam perjanjian mereka. Force majeure event means the occurence of :

  1. Act  of God (such as, but not limited to fires, explosions, earthquakes, drought, tidal waves, and floods);
  2. War, hostilities (whether war be declared or not), invasion, act of foreign enemies, mobilization, requisition, or embargo;
  3. Rebellion, revolution, insurrection, or military or usurped power, or civil war;
  4. Contamination by radio-activity from any nuclear fuel, or from any nuclear waste from the combustion of nuclear fuel, radio-active toxic explosive, or other hazardous properties of any explosive nuclear assembly or nuclear component of such assembly;
  5. Riot, commotion, strikes, go slows, lock outs or disorder, unless solely restricted to employees of the Supplier or of his Subcontractors;
  6. Act or threats of terrorism; or
  7. Other unforeseeable circumstances beyond the control of the Parties againts which it would have been unreasonable for the affected party to take precautions an which the affected party cannot avoid event by using best efforts.[3]

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa peristiwa force majeure berarti terjadinya tindakan di luar kendali manusia atau tindakan yang terjadi oleh Tuhan seperti (tetapi tidak terbatas pada kebakaran, ledakan, gempa bumi, kekeringan, gelombang pasang surut, banjir), perang, pertempuran, invasi, tindakan musuh asing, mobilisasi, embargo, pemberontakan, revolusi, huru-hara, militerisasi atau perebutan kekuasaan, perang saudara, kontaminasi oleh radioaktivitas dari bahan bakar nuklir, ledakan beracun radioaktif, kerusuhan, kericuhan/kekacauan, pemogokan, perlambatan kecuali terbatas pada karyawan pemasok atau subkontraktornya, tindakan ancaman terorisme, atau keadaan tak terduga lainnya di luar kendali para pihak terhadap hal yang tidak masuk akal bagi pihak yang terkena dampak untuk mengambil tindakan pencegahan bagi pihak tersebut dimana tidak dapat menghindari kejadian dengan menggunakan upaya terbaik.

Dalam perjanjian biasanya terdapat klausul yang menyatakan “kejadian-kejadian lain di luar kemampuan debitur” atau sejenisnya, dan biasanya mengenai konsekuensi dari adanya peristiwa force majeure juga diatur dalam perjanjian, misalnya apakah menunda perjanjian atau dapat dijadikan sebagai syarat batalnya perjanjian.

Menurut Subekti, terdapat 2 jenis keadaan memaksa (force majeur) yaitu :

  1. Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut), yang berarti dalam hal ini sama sekali tidak mungkin lagi untuk melaksanakan perjanjiannya, misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam.
  2. Keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif), yaitu berupa suatu keadaan dimana perjanjian masih dapat dilaksanakan, tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar dari hak si berhutang. Misalnya harga barang yang masih harus didatangkan oleh si penjual, tiba-tiba melambung sangat tinggi atau dengan tiba-tiba oleh Pemerintah dikeluarkan suatu peraturan yang melarang dengan ancaman hukuman untuk mengeluarkan suatu macam barang dari suatu daerah, yang menyebabkan si berhutang tidak dapat mengirimkan barangnya kepada si berpiutang.[4]     

Menurut Agus Yudha Hernoko Guru Besar Hukum Perdata Universitas Airlangga, berpandangan bahwa penentuan akibat force majeur tidak sesederhana yang dibayangkan.  Jika force majeur bersifat absolut, dampaknya adalah terhentinya pelaksanaan kontrak. Sedangkan pada force majeur relatif, pelaksanaan kontrak belum tentu terhenti begitu saja. Tergantung bagaimana hasil negosiasi para pihak dalam perjanjian, mungkin dengan menunda pelaksanaan kontrak atau melakukan negosiasi yang hasilnya telah disepakati bersama.[5]                                       

Ada beragam pandangan yang muncul berkaitan dengan alasan atau dalih force majeur yang digunakan debitur untuk tidak melaksanakan suatu prestasi dalam perjanjian. Lantas apa saja sebenarnya akibat hukum jika pandemi Covid-19 dijadikan sebagai dalil keadaaan kahar dalam perspektif hukum perdata?

Mengenai force majeure sewaktu pandemi Covid-19, sebelumnya Presiden Joko Widodo telah membuat dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Virus Corona Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional sebagai dasar hukum force majeure.[6]  

Dari keputusan presiden tersebut, Covid-19 dinyatakan sebagai bencana non-alam dan dinyatakan sebagai force majeure. Namun dengan adanya keputusan tersebut, tidak serta merta debitur dapat menunda atau membatalkan perjanjian karena alasan pandemi Covid-19.  

Dalam hukum perjanjian terdapat asas Pacta Sunt Servanda yang artinya kesepakatan para pihak mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dari asas tersebut, kedua belah pihak berhak melaksanakan perjanjian sesuai klausul yang sudah ditetapkan dan disepakati sebelumnya.

Jika dalam perjanjian disebutkan secara tegas menyatakan bahwa pandemi Covid-19 yang mengakibatkan lockdown sebagai peristiwa force majeure, maka pandemi Covid-19 dan lockdown oleh pemerintah dapat dijadikan sebagai alasan force majeure. Tetapi keadaan force majeure ini sifatnya sementara, yang berarti hanya menunda kewajiban debitur saja bukan untuk mengakhiri perjanjian, kecuali ditegaskan dalam perjanjian atau adanya kesepakatan para pihak.

Dengan demikian, jika pandemi Covid-19 berakhir atau pemerintah mencabut lockdown, pihak kreditur dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi debitur atau dapat juga memilih mengakhiri perjanjian dengan ganti rugi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata yang berbunyi :

Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih, memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Ketentuan force majeure ditentukan oleh klausul perjanjian yang telah disepakati dengan menguraikan peristiwa apa saja yang termasuk didalamnya. Jika para pihak mencantumkan pandemi Covid-19 ke dalam klausul force majeure, maka salah satu pihak dapat menunda atau membatalkan perjanjian. Apabila pandemi Covid-19 tidak termasuk dalam klausul, Covid-19 tidak dikategorikan sebagai force majeure.       


[1] https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e81ae9a6fc45/wabah-corona-sebagai-alasan-iforce-majeur-i-dalam-perjanjian/

[2] https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13037/Bencana-Nasional-Penyebaran-COVID-19-sebagai-Alasan-Force-Majeure-Apakah-Bisa.html

[3] https://ppp.worldbank.org/public-private-partnership/ppp-overview/practical-tools/checklists-and-risk-matrices/force-majeure-checklist/sample-clauses

[4] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,  Jakarta : PT Intermasa, 2001, hal. 150

[5] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ea3ac716afa1/akibat-hukum-iforce-majeur-i-dalam-pandangan-pakar-hukum-perdata/?page=2

[6] Ketentuan Force Majeure dalam Perjanjian Bisnis, Termasuk Pandemi Covid-19? - Bisnis Tempo.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *