Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya sudah memiliki payung hukum dalam menjalankan tanggungjawab memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat dari penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Adapun payung hukum yang dimaksud adalah Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019. Namun, pada Juli 2021 Pemprov DKI mengajukan revisi terhadap Perda tersebut. Dilansir dari draf perubahan Perda Covid-19 yang dikirimkan oleh Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani, terdapat pasal tambahan yaitu mengenai sanksi pidana yakni Pasal 32A dan Pasal 32B.[1]
Revisi Perda tersebut dalam Pasal 32A memuat sanksi pidana yang sebelumnya tidak ada dalam Perda Covid-19. Berikut bunyi Pasal 32A ayat (1) :
“Setiap orang yang mengulangi perbuatan tidak menggunakan masker setelah dikenakan sanksi berupa kerja sosial atau denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)”.
Ayat (2) :
“Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab perkantoran/tempat kerja, tempat usaha, tempat industri, perhotelan/penginapan lain yang sejenis dan tempat wisata yang mengulangi perbuatan melanggar protokol pencegahan Covid-19 setelah dikenakan sanksi berupa pencabuatan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf f, dipidana dengan kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.
Ayat (3) :
“Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggungjawab transportasi umum, termasuk perusahaan aplikasi transportasi daring yang mengulangi perbuatan pelanggaran protokol pencegahan Covid-19 setelah dikenakan sanksi berupa pencabuatan izin sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (5) huruf c, dipidana dengan kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.
Ayat (4) :
“Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggungjawab warung makan, rumah makan, kafe atau restoran yang mengulangi perbuatan pelanggaran protokol pencegahan Covid-19 setelah dikenakan sanksi berupa pencabuatan izin sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (3) huruf c dipidana dengan kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.
Pasal 32B menegaskan, tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 32A adalah pelanggaran. Pelanggaran seperti yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut bukanlah kriminal, jadi seharusnya hanya perlu diberikan sanksi sosial saja, dalam arti tidak harus berbentuk penjeratan hukuman atau pemenjaraan. Sanksi bagi pelanggar aturan setingkat Perda cukup sampai pada denda administratif.[2]
Jika pelanggar ketentuan pidana dalam Perda tersebut dijebloskan ke dalam jeruji besi, lantas bagaimana dengan kemampuan Rumah Tahanan (Rutan) dalam menampung para pelanggar protokol kesehatan (prokes). Sebelum membuat draf revisi Perda tersebut, seharusnya pemerintah sudah terlebih dahulu memikirkan dan menyiapkan tempat bagi pelanggar prokes.
Dalam penanganan Covid-19, Pemprov DKI lebih baik memberikan perhatian besar kepada pelaku kejahatan ekonomi yang mengambil keuntungan besar diluar kewajaran dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini. Adapun sanksi pidana dapat dilakukan untuk kasus yang berkaitan dengan dugaan adanya kartel harga yaitu larangan terhadap pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan maksud untuk mempengaruhi harga.[3] Selain itu, pelanggaran yang dapat dipidana yaitu berupa kegiatan penimbunan kebutuhan masyarakat, seperti obat-obatan, alat kesehatan, fasilitas kremasi, sembako dan tes PCR seperti yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 107 yang menyatakan bahwa pelaku usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)”
Selain daripada pasal-pasal tersebut di atas, terdapat juga pasal yang memunculkan kontroversi. Pemicunya lantaran adanya satu pasal yang disisipkan yaitu Pasal 28A terkait dengan pemberian kewenangan penyidikan terhadap Satpol PP DKI Jakarta. Kewenangan Penyidikan bagi Satpol PP ini tertuang dalam Pasal 28A yang bunyinya sebagai berikut :
“Selain Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Provinsi dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Satpol Pamong Praja diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran dalam Peraturan Daerah ini”.
Dalam draf revisi Perda tersebut dijelaskan bahwa Penyidik dari Satpol PP dapat melakukan pemeriksaan terhadap laporan aduan tindak pidana dari masyarakat. Selain itu, Satpol PP juga dapat memanggil para saksi maupun menyita barang bukti.
“Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana”, demikian bunyi salah satu kewenangan Satpol PP DKI, sebagaimana tertuang dalam draf revisi Perda DKI Jakarta.[4] Dalam Pasal 28A, selain Polri, Satpol PP juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada pihak kepolisian dan pengadilan negeri.[5]
Menurut Pasal 255 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan Satpol PP dibentuk untuk menegakkan Perda dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada), menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.
Selanjutnya pada Pasal 256 ayat (6) disebutkan bahwa Polisi Pamong Praja yang memenuhi persyaratan dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun persyaratan untuk menjadi PPNS dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 3A menyebutkan untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun.
- Berpangkat paling rendah Penata Muda atau Golongan III/a.
- Berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara dan bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum.
- Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah, selanjutnya setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun tahun terakhir.
- Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan.
Sementara itu, pola pendidikan dan pelatihan PPNS ada dalam Pasal 5 Perkapolri Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penyelenggaran Pendidikan dan Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan regulasi tersebut, baik undang-undang, peraturan pemerintah dan Perkapolri yang sampai saat ini masih berlaku sehingga PPNS pada Satpol PP mempunyai kewenangan untuk melakukan Penyidikan atas Pelanggaran Perda, mengingat PPNS pada Satpol PP mengikuti Diklat Penyidikan yang diselenggarakan oleh Polri dan diangkat sebagai pejabat PPNS oleh Kementerian Hukum dan HAM setelah mendapatkan rekomendasi dari Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung.[6]
DPRD Provinsi DKI Jakarta resmi menerima usulan perubahan Perda ini. Dokumen siap dibahas oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda). Adapun pembahasan revisi Perda DKI ini belum selesai dan direncanakan akan rampung pada 29 Juli 2021.[7]