Penyebaran Corona virus disease 2019 (Covid-19) belum juga usai. Virus yang mulai muncul di Indonesia di awal 2020 sampai saat ini masih terus mengancam kesehatan dan merongrong perekonomian bangsa. Perjuangan melawan virus ini sepertinya sejalan dengan perjuangan mempertahankan keberlangsungan hidup. Mengingat penyebaran virus ini adalah melalui makhluk hidup, maka menimbulkan dilema berat. Di satu sisi, manusia dalam kehidupan bermasyarakat harus ada mobilitas. Butuh bekerja, berobat, belanja, beribadah, dan aktivitas lainnya. Di sisi lain, untuk menghentikan atau setidak-tidaknya untuk menekan angka penyebaran virus ini, diharuskan untuk tetap di rumah atau mengurangi mobilitas.
Untuk mencegah penyebaran dan lonjakan Covid-19, pemerintah harus mengambil kebijakan efektif. Presiden Joko Widodo pada 2 Juli silam telah mengumumkan dan memberi arahan tentang akan diberlakukannya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. PPKM darurat ditetapkan khusus untuk daerah Jawa dan Bali serta mulai efektif berlaku sejak tanggal 3 Juli 2021. Lalu, apa yang mendasari pemerintah menerapkan kebijakan ini dilihat dari kacamata hukum?
Indonesia merupakan negara hukum, sesuai dengan apa yang tertera dalam konstitusi kita yakni Pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945. Dengan ini, setiap hal dan setiap kebijakan oleh pemerintah barus berpijak pada hukum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan PPKM yang telah ditetapkan oleh pemerintah ini dituangkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021
Tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali. Istilah PPKM tidak ada dijumpai dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Itu berarti, pemerintah mengambil kebijakan ini berdasarkan diskresi. Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang juga Ketua PPKM Darurat Jawa-Bali mengatakan bahwa terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara PPKM dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menurut Luhut, PPKM didasarkan pada perintah dari Presiden atau Pemerintah Pusat, sedangkan PSBB didasarkan pada permohonan dari Pemerintah Daerah. Jadi, berdasarkan sumber pemberlakuan kebijakan, dapat dikatakan bahwa PPKM ialah berasal dari pemerintah pusat yang didasarkan pada diskresi.
Diskresi dalam Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Negara ialah :
“keputusan atau tindakan yang ditetapkan atau dilakukan
oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, atau adanya
stagnasi pemerintahan’’
Menghubungkan kewenangan diskresi pemerintah dengan apa yang terkandung dalam UU ini ialah dengan syarat, yakni hanya apabila “peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, atau adanya
stagnasi pemerintahan”.
Apabila ditelisik lebih jauh, di Indonesia sendiri bukannya tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan atau dasar bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan mengatasi pandemi Covid-19. Undang-Undang Nomor No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Sebelumnya pemerintah sudah mengambil kebijakan berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020. Kebijakan ini diambil berlandaskan ketentuan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan karena UU ini sudah cukup jelas menentukan langkah apa yang dapat ditempuh apabila terjadi kedaruratan kesehatan seperti yang terjadi sekarang ini.
PSBB dan PPKM memiliki perbedaan ditinjau dari sumber pembuat kebijakan. PSBB diterapkan dengan peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sesuai PP No. 21 Tahun 2020, kebijakan PSBB harus menempuh skema pengajuan terlebih dahulu oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Sedangkan PPKM ditentukan langsung oleh pemerintah pusat. Jadi, inisiatif PPKM ada di tangan pemerintah pusat dan pemerintah pusat telah menetapkan kriteria-kriteria tertentu terhadap daerah-daerah untuk melakukan penerapan PPKM sedangkan inisiatif PSBB ada di tangan pemerintah daerah.
UU Kekarantinaan Kesehatan sudah menentukan hal apa yang akan dilakukan apabila terjadi kedaruratan kesehatan masyarakat, yakni karantina wilayah. Konsekuensi hukum apabila pemerintah mengambil kebijakan dari apa yang ditawarkan oleh UU ini ialah sebagaimana tertera dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2018 yakni :
“Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat”
Tentu saja hal ini lebih menjamin hak masyarakat dalam hal terjadi pembatasan HAM dalam rangka mengatasi kedaruratan kesehatan.
Pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan seyogianya hal pertama yang menjadi perhatian ialah peraturan perundang-undangan yang berlaku, lain hal apabila memang dari peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan tidak ada mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, barulah pemerintah membuat diskresi. Hal ini tentu akan sejalan dengan konsep negara hukum, dan pastinya membangun wibawa pemerintah sekaligus wibawa hukum itu sendiri. Di samping itu, kekuatan hukum suatu kebijakan yang berlandaskan undang-undang pasti lebih kuat daripada kebijakan yang tidak jelas dasar hukumnya.