Media massa baik online maupun cetak, belakang ini banyak memberitakan tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang merupakan kebijakan Pemerintah Indonesia untuk menangani pandemi COVID-19 dengan cara membatasi kegiatan-kegiatan tertentu di masyarakat yang berpotensi menimbulkan kerumunan massal dan menjadi media penyebaran virus COVID-19.
Berdasarkan data yang diperoleh dari laman Covid.go.id tertanggal 26 Juli 2021, di Indonesia tercatat sekitar 3.194.733 orang positif telah terpapar virus COVID-19 dengan rincian 2.549.692 sembuh dan 84.766 meninggal.[1] Dilansir dari laman Worldometer yang dikutip oleh Kompas, menunjukkan bahwa sampai dengan tanggal 15 Juli 2021 Indonesia berada di peringkat 15 dengan jumlah kasus COVID-19 terbanyak.[2] Sehingga berdasarkan hal tersebut wajar saja penanganan COVID-19 harus mendapatkan perhatian lebih serius oleh Pemerintah Indonesia melalui kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan.
Sejak virus COVID-19 menyebar di Indonesia diawal tahun 2020 lalu, terdapat berbagai istilah terkait dengan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam penanganan COVID-19 dimulai dari PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Mikro, Darurat, hingga yang terbaru yakni PPKM Level 4.[3] Keseluruhan kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia tersebut merupakan program yang benar-benar baru dan murni dirancang untuk menangani penyebaran virus COVID-19 di Indonesia. Akan tetapi yang menjadi permasalahan apakah pelaksanaan kebijakan tersebut sudah baik dan bersesuaian dengan ketentuan hukum maupun nilai-nilai dan norma yang ada serta hidup di tengah-tengah masyarakat, perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam terutama dasar hukum kebijakan dan penerapannya di lapangan.
Dasar Hukum
Secara sederhana dasar hukum dapat diartikan sebagai ketentuan perundang-undangan atau norma hukum yang dijadikan landasan dalam setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum baik orang-perorangan maupun badan hukum. Adapun yang dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan yang kebijakan penanganan COVID-19 yang dikeluarkan baru-baru ini di Indonesia, khususnya di Kota Medan ialah Surat Edaran No. 4432/6134 Tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 Di Tingkat Kelurahan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Di Kota Medan. Merupakan tindak lanjut atas Instruksi Gubernur Sumatera Utara No. 188.54/28/INST/2021 Tentang Perubahan Instruksi Gubernur No. 188.54/26/INST/2021 Tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro Dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 Di Tingkat Desa Dan Kelurahan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 yang juga dikeluarkan untuk menindaklanjuti Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro Dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 Di Tingkat Desa Dan Kelurahan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Jika ditinjau dari dasar hukum pelaksanaanya yang merupakan Instruksi, sekilas kebijakan tersebut tidak dapat dianggap sebagai ketentuan perundang-undangan. Sebab dalam Pasal 7 maupun Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak terdapat frasa Instruksi maupun Surat Edaran. Sehingga secara pragmatis kita akan beranggapan bahwa kebijakan tersebut sudah menyalahi aturan karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas, dan seharusnya justru dapat ditentang. Karena tidak mentaatinya bukanlah merupakan suatu kesalahan yang serta-merta dapat dikenakan sanksi ataupun hukuman, sebab secara etimologis Surat Edaran atau Sirkuler merupakan surat yang diedarkan atau daftar yang dikirimkan kepada beberapa orang di beberapa tempat untuk menyampaikan pesan agar dapat diketahui ataupun dilaksanakan.[4] Sedangkan yang dimaksud dengan Instruksi ialah perintah atau arahan (untuk melakukan pekerjaan atau melaksanakan tugas), pelajaran; petunjuk atau dalam bidang komputer digunakan dalam bahasa pemrograman yang dimengerti oleh komputer sebagai perintah untuk melakukan tindakan tertentu.[5]
Pernyataan pragmatis yang menganggap Surat Edaran dan Instruksi tidak perlu ditaati dan justru dapat ditentang harus dipertimbangkan dengan cermat. Sebab jika diuraikan bunyi Pasal 7 dan 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 sebagai berikut, yang berbunyi :
Pasal 7
- Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 8
- Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dalam ketentuan pasal tersebut tidak diatur secara jelas tentang Surat Edaran maupun Instruksi baik di Pasal 7 maupun Pasal 8 ayat (1). Akan tetapi berdasarkan ketentuan tersebut ada dua prinsip yang muncul yang terlihat jika dilihat lebih seksama yakni, bahwa ketentuan hukum dapat dijadikan dasar hukum karena jenis dan hierarkinya diatur dalam Undang-Undang. Selain itu, terdapat ketentuan hukum yang juga diakui dan dapat dijadikan dasar hukum, karena badan, instansi atau jabatan yang mengeluarkannya diakui oleh Undang-Undang. Sehingga dapat disimpulkan keabsahan suatu ketentuan hukum dapat ditinjau dari Dasar Hukum yang mendelegasikan serta Subjek Hukum yang mengeluarkannya.[6]
Penerapan Kebijakan Penanganan COVID-19
Surat Edaran maupun Instruksi pada dasarnya merupakan wujud Freies Ermessen[7] yang dimiliki oleh Badan atau Pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan tertentu, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Surat Edaran dan Instruksi menurut I Gde Pantja Astawa dapat disebut sebagai peraturan negara (staatsregelings) atau keputusan dalam arti luas (besluiten)[8], dan secara konkrit dapat digolongkan ke dalam aturan kebijakan (beleidregel) yang dapat disejajarkan dengan peraturan perundang-undangan.
Wujud penerapan kebijakan penanganan COVID-19 yang belakangan ini dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia ialah PPKM Darurat dan Level 1-4. Adapun untuk daerah tertentu, ialah daerah yang menduduki jumlah terpapar virus paling banyak. Sehingga berdasarkan hal tersebut, Presiden Jokowi memberikan arahan agar segera melaksanakan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Hal tersebut dilakukan untuk menekan tren kasus penularan COVID-19.
Kebijakan untuk membatasi aktivitas masyarakat pada pelaksanaannya menuai kontra, khususnya dari masyarakat yang memiliki taraf ekonomi menengah kebawah serta yang mengandalkan mata pencaharian dari keramaian. Sebagai contoh di daerah Sumatera Utara yang menempati peringkat 8 kasus COVID-19 terbanyak di Indonesia.[9] Selain itu banyak masyarakat, khususnya dari kalangan pedagang di daerah Sumatera Utara yang tidak setuju dan menentang kebijakan PPKM, terbukti dari beberapa kasus yang sempat viral dan muncul di media massa.[10] [11]
Jika dikaji secara seksama, adapun yang menjadi perhatian penting dalam penerapan kebijakan penanganan COVID-19 ialah munculnya kesan kriminalisasi. Sebab bagi pelanggar terhadap kebijakan tersebut dikenakan sanksi. Akan tetapi yang menjadi perhatian penting ialah penjatuhan sanksi pidana kepada para pelanggar dirasa kurang tepat dan bahkan hanya akan menimbulkan kegaduhan. Karena pada dasarnya, tidak sedikit para pelanggar melakukan perbuatannya tersebut dikarenakan tuntutan ekonomi, terlebih di tengah-tengah situasi sulit pada masa Pandemi COVID-19 saat ini. Sehingga atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah harus lebih bijaksana dalam perancangan serta pelaksanaan kebijakan yang dikeluarkan.
Jadi, jika kita mempertanyakan apakah kebijakan penanganan COVID-19 tersebut sudah tepat dan memiliki dasar hukum? Jawabannya adalah iya. Karena kebijakan tersebut dikeluarkan memang murni sebagai wujud pertanggungjawaban negara terhadap warga negaranya agar terlindung dari wabah. Akan tetapi yang menjadi kekurangan ialah bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak serta-merta dapat membantu masyarakat memenuhi kebutuhan hidup, yang mungkin telah bangkrut atau bahkan dipecat (pengurangan pekerja) akibat pandemi ini. Tetapi meskipun begitu, sekalipun kebijakan tersebut memang merugikan masyarakat bukan berarti kita harus menentangnya karena merugikan. Justru kita harus mentaatinya karena, kebijakan tersebut dibuat untuk kita bersama. Adapun tugas pemerintah baik dari pusat hingga daerah ialah membantu masyarakat yang benar-benar terdampak, seperti halnya pemberian dana bantuan, keringanan pajak, dan program-program lain-lainnya yang dilaksanakan dan diawasi secara ketat agar peruntukkannya tepat guna. Hal tersebut untuk menghindari kasus korupsi BANSOS oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara tahun lalu tidak terulang kembali.[12] Selain itu, adapun penegakan terhadap pelanggaran PPKM seharusnya lebih ditekankan terhadap sanksi administratif, sosial dan juga moral. Pada pokoknya, penanganan COVID-19 ini tidak cukup hanya sekedar kebijakan ataupun program, tetapi hal yang dibutuhkan ialah sinergitas antara pemerintah melalui instansi-instansi terkait beserta jajarannya dengan masyarakat secara keseluruhan.