cropped-frans_law_firm-removebg.png
Dinamika Konflik Agraria di Lingkungan PT. Toba Pulp Lestari
Konflik antara masyarakat di lingkungan PT. Toba Pulp Lestari (“PT. TPL”) hingga kini masih terus berlanjut. Puluhan tahun masyarakat telah merasa tidak nyaman dengan kehadiran perseroan ini. PT. TPL dinilai membawa dampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat dan juga merusak wilayah ekosistem yang selama ini mereka jaga dan kelola.

Penulis : Vivi Hariani Damanik, S.H.

Konflik antara masyarakat di lingkungan PT. Toba Pulp Lestari (“PT. TPL”) hingga kini masih terus berlanjut. Puluhan tahun masyarakat telah merasa tidak nyaman dengan kehadiran perseroan ini. PT. TPL dinilai membawa dampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat dan juga merusak wilayah ekosistem yang selama ini mereka jaga dan kelola.

PT. Toba Pulp Lestari Tbk disingkat PT. TPL ialah suatu perseroan yang bergerak di bidang industri pengusahaan hutan tanaman dan produksi kayu Eucalyptus. Dapat dikatakan bahwa PT ini merupakan PT yang memproduksi pulp dengan bahan baku kayu yang diperoleh dari hutan tanaman industri. Industri PT ini berada di kawasan dataran tinggi Sumatera Utara, secara khusus areal konsesinya berada di beberapa kabupaten, yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Asahan, Kabupaten Toba, Kabupaten Pak-Pak Barat, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Dairi, Kabupaten Samosir, Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Kota Padang Sidempuan (dilansir dari website PT. TPL).

Di sekitar areal konsesi PT ini terdapat pedesaan dengan penduduk yang mayoritas mata pencahariannya ialah bertani dan mengambil hasil dari hutan sebagaimana telah dimulai sejak nenek moyang mereka hidup di kawasan tersebut. Mayoritas penduduk di areal ini ialah penduduk yang menetap secara turun-temurun dan satu keturunan. Jadi, dirasa wajar apabila masyarakat yang sudah turun-temurun menetap secara kolektif di suatu wilayah, bahkan dari moyang yang sama, menolak apabila wilayah mereka diganggu oleh pihak lain. Secara historis, mereka pasti sudah memiliki budaya yang ditanamkan oleh nenek moyang, baik tentang keterikatan batin dengan wilayah tempat tinggal mereka maupun upacara-upacara adat yang diyakini sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Berbagai komunitas penduduk yang ada di wilayah ini merasa terganggu dengan beroperasinya PT. TPL. Dinilai bahwa PT ini telah merampas hutan adat mereka dan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Lantas, melalui komunitas bernama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), mayararakat terus melakukan upaya mempertahankan wilayah agar ekosistem mereka tidak dirusak dan dikuasai oleh pihak lain.

Jika ditelisik, apa sebenarnya yang membuat masyarakat merasa diganggu haknya  dengan kehadiran PT. TPL ini? Mari melihat legal standing atau dasar hukum beroperasinya perseroan ini. Dilansir dari website PT. Toba Pulp Lestari Tbk, di samping izin pendirian dan izin investasi, ternyata perseroan ini juga sudah mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 493/KPTS-II/1992 Jo. SK. 307/MenLHK/Setjen/HPL.P/7/2020 yang mana memiliki wilayah konsesi seluas 167.912 hektare. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. P. 28/MenLHK/KUM.1/7/2018 tentang Tata Cara Pemberian, Perluasan Areal Kerja dan Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi, Pasal 1 angka 10 menyebutkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Jenis ijin ini merupakan konsesi dari pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Tentunya badan usaha melakukan upaya untuk memperoleh izin usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dalam hal ini pihak pemerintah juga mempunyai kesempatan untuk menilai ketika dalam proses pemberian izin dimaksud. Artinya, proses pemberian suatu izin oleh pemerintah haruslah hati-hati dan benar-benar dikaji secara detail dan menyeluruh. Seyogianya pemerintah harus memperhatikan ekosistem yang ada di areal yang akan diberikan ijin, terkhusus mengenai kehidupan masyarakat kolektif yang telah beratus-ratus tahun lamanya hidup secara turun-temurun di sebuah wilayah. Hal ini harus menjadi pertimbangan esensial pemerintah dalam pemberian izin usaha, apalagi terkait pengusahaan hutan.

Namun apabila sudah terlanjur, pemerintah harus tetap membuka mata terhadap kerugian yang diakibatkan oleh pemberian izin dimaksud. Izin konsesi yang diberikan pemeritah kepada PT. TPL melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dirasa telah merugikan masyarakat sekitar. Bagaimana tidak, kawasan hutan yang selama ini menjadi “rumah” bagi

mereka kini telah dikuasai oleh pihak lain. Kawasan pemukiman mereka semakin sempit dan ekosistem yang tidak seimbang kian terasa.

Konflik agraria di antara masyarakat dengan PT. TPL masih berlanjut. Melalui aliansi maupun komunitas masyarakat, mereka terus menyuarakan permohonan agar pemerintah memberikan atensi bagi kerugian yang telah mereka alami dan memohon supaya operasi PT. TPL segera ditutup atau setidak-tidaknya hutan maupuan tanah yang mereka klaim sebagai hutan/tanah adat mereka dikeluarkan dari wilayah konsesi.

Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 18B ayat (2) menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Melihat ketentuan perundang-undangan yang berlaku, masyarakat sekitar TPL terbentur di bagian belum adanya Perda tentang pengakuan dan penetapan status mereka sebagai masyarakat adat. Oleh kenyataan ini, pemerintah juga terkendala dalam memenuhi permohonan masyarakat untuk dikeluarkannya tanah atau hutan adat mereka dari wilayah konsesi. Padahal, ketika kesatuan masyarakat hukum adat diakui di suatu wilayah, hal itu mempermudah masyarakat untuk menjamin hak ulayatnya. Dilansir dari situs Badan Pembinaan Hukum Nasional (bphn.go.id), disebut hutan adat merupakan bagian dari hutan negara. Dimasukkannya hutan adat ke dalam hutan negara ini adalah sebuah konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang  Pokok Agraria (UUPA), UU No. 1 Tahun 1960.

Pasal 98 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menentukan bahwa penetapan masyarakat hukum adat dalam terminologi desa adat ditetapkan dengan peraturan daerah. Namun, sejauh ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengakui masyarakat hukum adat. Sehingga kalaupun di suatu wilayah terdapat masyarakat yang memenuhi unsur sebagai masyarakat hukum adat, tetapi apabila pemerintah daerahnya tidak menghendaki ditetapkannya masyarakat tersebut menjadi masyarakat hukum adat maka status mereka tetaplah masyarakat biasa (acording to political will).

Maka untuk itu, diperlukan perhatian lebih dari pemerintah terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dalam hal ini masyarakat hukum adat yang ada di areal PT. TPL. Pemerintah harus mengupayakan dibentuknya suatu nomenklatur regulasi demi menjamin hak konstitusional

masyarakat hukum adat. Dengan demikian dapat mempermudah pemenuhan hak ulayat masyarakat yang ada di sekitar PT. TPL sehingga konflik agraria yang sudah tejadi dapat diatasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *