cropped-frans_law_firm-removebg.png
PINANGKI DAN TREN VONIS RINGAN KORUPTOR
Pinangki ikut menyusun ”action plan” berisi 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atas putusan Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra.

Penulis : Santa Clara Damanik, S.H.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding yang diajukan mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan memotong hukuman dari sebelumnya 10 tahun menjadi 4 tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang. Putusan tersebut dinilai menciderai rasa keadilan masyarakat.

Sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadap Pinangki. Dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Pinangki dituntut agar dijatuhi hukuman selama 4 tahun penjara ditambah denda Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) subsider 6 bulan kurungan. Namun, Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 8 Februari 2021 menjatuhkan vonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600.000.000 (enam ratus juta rupiah) subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap 500 ribu dolar AS, melakukan pencucian uang, dan permufakatan jahat terkait perkara Djoko Tjandra.

Berdasarkan Putusan Nomor 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst, Pinangki Sirna Malasari terbukti melakukan tiga perbuatan pidana, yaitu pertama terbukti menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS dari terpidana kasus “cessie” Bank Bali Djoko Tjandra. Uang tersebut diberikan dengan tujuan agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana 2 tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No. 12 tertanggal 11 Juni 2009.

Pinangki ikut menyusun ”action plan” berisi 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atas putusan Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra. Perbuatan kedua, Pinangki dinilai terbukti melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara dengan Rp5.253.905.036. Uang tersebut merupakan bagian dari uang suap yang diberikan Djoko Tjandra. Bentuk pencucian uang antara lain dengan membeli mobil BMW X5 warna biru, pembayaran sewa apartemen di Amerika Serikat, pembayaran dokter kecantikan di Amerika Serikat, pembayaran dokter home care, dan pembayaran kartu  kredit. Perbuatan ketiga adalah Pinangki melakukan permufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya, Djoko Tjandra, Anita Kolopaking (mantan penasehat hukum Djoko Tjandra) untuk menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejagung dan MA, untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra yang tertuang dalam “action plan” yang digagas oleh Pinangki.

Pemangkasan vonis yang dilakukan Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mendapat sorotan dari berbagai pihak termasuk aliansi masyarakat antikorupsi seperti MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia), ICW (Indonesia Corruption Watch),  akademisi, pakar hukum, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, tren penjatuhan sanksi yang rendah bagi koruptor sudah menjadi hal yang lumrah. ICW menyatakan tren hukuman terhadap koruptor dalam periode semester I tahun 2020 masih ringan. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan ICW selama periode tersebut, pelaku korupsi rata-rata dihukum 3 tahun pidana. Dilansir dari laman Kompas.com, putusan terhadap Pinangki yang mengundang kontroversi tersebut diambil oleh Ketua Majelis Hakim Muhammad Yusuf dengan Hakim Anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham pada 14 Juni 2021. “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp600.000.000 (enam ratus juta rupiah) demikian bunyi putusan Nomor 10/PID.TPK/2021/PT DKI, dengan ketentuan bila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.

Adapun pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan vonis tersebut sehingga mengurangi lebih dari separuh masa hukuman Pinangki, yang pertama adalah Pinangki dinilai telah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagai jaksa, pertimbangan selanjutnya adalah Pinangki merupakan seorang ibu dari anak yang masih balita (berusia empat tahun) sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberikan  kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan, pertimbangan lain adalah Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan perlakuan secara adil, dan bahwa perbuatan Terdakwa tidak terlepas dari perbuatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini. “Bahwa tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum selaku pemegang asas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat”, demikian bunyi pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Alasan pertimbangan hakim dalam hal ini tidak masuk akal. Alasan Pinangki merupakan seorang wanita yang harus mendapatkan perhatian dan perlindungan tidaklah tepat karena semua orang sama di hadapan hukum (equality before the law), tidak ada perbedaan gender antara laki-laki dengan perempuan, antara pejabat dengan warga sipil jika sudah berhadapan dengan hukum. Salah satu tujuan hukum yaitu keadilan harus ditegakkan agar tercipta ketertiban dan ketentraman ditengah-tengah masyarakat.

Memang Pinangki adalah seorang ibu dari balita berumur 4 tahun tetapi hal ini tidaklah menjadi alasan pertimbangan yang masuk akal jika dibandingkan dengan kasus Angelina Sondakh alias Angie yang juga memiliki anak yang masih dibawah umur pada saaat itu. Angie yang awalnya divonis 4,5 tahun penjara dalam dugaan penerimaan suap anggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga justru diperberat saat kasasi. Mahkamah Agung memperberat hukuman Angie menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta.  Padahal Angie juga menjadi orangtua tunggal yang memiliki anak-anak yang masih kecil pada saat itu namun ia tidak mendapatkan pemangkasan hukuman seperti yang diperoleh oleh Pinangki.

Selain itu, kasus Pinangki ini juga dapat dikatakan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) karena pelakunya adalah orang yang memiliki status sosial menengah ke atas, dan berintelektual tinggi. Perbuatan pencucian uang yang dilakukan oleh Pinangki termasuk ke dalam kejahatan kerah putih. Apalagi Pinangki merupakan seorang jaksa yang merupakan penegak hukum namun seolah semuanya itu tidak terlihat dan diabaikan oleh Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut di tingkat banding. Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga negara yang berwenang untuk mengawasi perilaku hakim akan menganalisa putusan banding dalam pemangkasan hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun terhadap mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari seperti yang dikutip dari m.mediaindonesia.com. KY bisa menindak hakim yang terlihat tidak netral, KY juga menegaskan tidak akan pandang bulu menindak hakim jika kedapatan berpihak dalam penjatuhan putusan bagi Pinangki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *