cropped-frans_law_firm-removebg.png
ANCAMAN KRIMINALISASI OLEH UNDANG-UNDANG ITE AKANKAH MEMBUNGKAM KEBEBASAN BERPENDAPAT?
dr. Lois pada media sosial pribadinya menyatakan kematian pasien Covid-19 disebabkan oleh interaksi antar obat. Sehingga atas perbuatannya, dr. Lois saat ini telah ditangkap Polisi untuk diproses lebih lanjut.

Penulis : Lampos Rivaldo Lumban Toruan, S.H.

Kebebasan berpendapat (freedom of speech) semua orang atau dalam hal ini seluruh Rakyat Indonesia sejatinya diatur dan dijamin perlindungannya oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28E ayat (3).[1] Adapun pengertian “pendapat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pikiran, anggapan, buah pemikiran atau anggapan tentang suatu hal.[2] Jadi dapat disimpulkan bahwa subjektivitas suatu pendapat juga merupakan hal yang lumrah, sebab tiap-tiap pendapat tersebut merupakan hasil interpretasi dari masing-masing subjek yang berbeda. Maka segala faktor yang berasal dari dalam (intern) maupun luar (ekstern), mulai dari watak dan kepribadian, tingkat IQ, pendidikan, suku dan budaya, ras, agama, lingkungan dan faktor-faktor lainnya dapat berpengaruh besar terhadap perbedaan pendapat orang yang satu dengan lainnya.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang ITE, belakangan ini di media massa baik cetak maupun elektronik ramai berita yang mengabarkan tentang tokoh publik maupun masyarakat biasa yang terjerat kasus yang berkaitan dengan Undang-Undang ITE. Sehingga berdasarkan hal tersebut, masyarakat mulai beranggapan bahwa Undang-Undang ITE cenderung telah membungkam kebebasan berpendapat. Hal tersebut dibuktikan dari hasil survey terhadap anak-anak muda yang dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi yang menyebutkan bahwa sebesar 57,3 persen responden menyatakan UU ITE perlu direvisi dengan tujuan mengemukakan pendapat di muka umum dapat dijamin kebebasannya, dan hanya 24 persen yang menyatakan Undang-Undang ITE tidak perlu direvisi.[3]

Jika kita membaca dengan seksama, banyak dari komponen Undang-Undang ITE mengundang multi tafsir. Sebagai contoh Pasal 27 ayat (1) tentang kesusilaan, Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 27 ayat 5 tentang ujaran kebencian yang pada tahun 2018 berdasarkan data yang dikemukan oleh Unggul Sagena yakni Kepala Divisi Akses Informasi SAFEnet pada laman berita CNN Indonesia tertanggal Minggu, 30 Juni 2019 Pukul 02:56, dimana kasus pelanggaran Undang-Undang ITE yang tertinggi berkenaan dengan ketiga pasal tersebut diantaranya 149 tentang pencemaran nama baik dan disusul oleh ujaran kebencian dengan angka 81 kasus. Selain itu, di tempat ketiga kasus melanggar kesusilaan dengan 71 kasus.[4]

Adapun bunyi dari ketiga pasal tersebut, yakni sebagai berikut :

  • Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan
  • Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
  • Pasal 27 ayat (5) yang berbunyi : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik

Berdasarkan bunyi ketiga pasal tersebut, sangat jelas tampak terkesan membungkam kebebasan seseorang untuk berpendapat. Sehingga wajar saja, banyak pihak yang menginginkan Undang-Undang ITE untuk direvisi. Sebagai contoh yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan sangat luas cakupannya, sehingga timbul pertanyaan apakah menampilkan Informasi Elektronik tentang suku-suku pedalaman yang di dalamnya memuat unsur ketelanjangan karena mereka belum mengenal pakaian akan dipidana? Apakah seorang dosen dalam menunjang kegiatan pembelajaran dapat dipidana hanya karena mengirim gambar yang memuat unsur ketelanjangan kepada mahasiswa yang diajar? Selain itu, yang berkaitan dengan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik apakah membuat kita tidak dapat mengkritik atau mengevaluasi seseorang atau siapapun jika pada kenyataannya apa yang diungkapkan ataupun dikerjakannya tidak maksimal atau cenderung salah/menyimpang? Dan apakah hanya dikarenakan memiliki pendapat yang berbeda dengan orang lain atau bahkan berbeda dari orang-orang pada umumnya dapat dikatakan bohong atau menyesatkan sebelum semuanya dibuktikan secara ilmiah?

Rumit dan simpang siurnya Undang-Undang ITE menyebakan banyak yang takut untuk mengeluarkan pendapatnya. Karena ancaman hukum yang melanggar menjadi momok yang mengerikan bagi semua pihak. Sehingga istilah kriminalisasi pun pantas disandingkan dengan ketentuan ini. Sebab mekanisme yang dianut oleh Undang-Undang ITE ialah didasarkan pada aduan. Jadi bagi, siapa saja yang merasa dirugikan dapat melaporkan pelanggaran atas ketentuan tersebut kepada Polisi. Selain itu, pelanggaran terkait Undang-Undang ITE juga sangat rentan dengan tindakan yang bersifat manipulatif. Hal tersebut dikarenakan Informasi Elektronik dapat dengan mudah diubah, dipotong, ditambah, ataupun diedit sedemikian rupa dengan tujuan untuk menjatuhkan pihak tertentu atau justru untuk mengaburkan fakta yang sebenarnya. Contohnya ialah video pidato Ahok yang dituntut karena telah melakukan penistaan agama ialah merupakan hasil editan Buni Yani dari video asli yang berdurasi 1 jam 48 menit 33 detik[5] dan juga video orasi Robertus Robet saat aksi Kamisan 28 Februari 2019 yang dipotong dan hanya menonjolkan bagian lagu mahasiswa pada masa reformasi 1998 yang kontennya mengandung penghinaan pada institusi TNI.[6][7]

Kasus terbaru yang berkaitan dengan Undang-Undang ITE ialah kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks yang menimpa dr. Lois, dimana dr. Lois pada media sosial pribadinya menyatakan kematian pasien Covid-19 disebabkan oleh interaksi antar obat. Sehingga atas perbuatannya, dr. Lois saat ini telah ditangkap Polisi untuk diproses lebih lanjut. Selain kasus yang menjerat dr. Lois, masih banyak kasus-kasus lain. Akan tetapi, dari sekian banyaknya kasus yang berkaitan dengan Undang-Undang ITE tersebut. Adapun yang menjadi hal penting dan perlu diluruskan ialah apakah kehadiran Undang-Undang ITE justru membungkam kebebasan berpendapat? Jawabannya ialah bisa tidak, bisa juga iya.

Pertama, alasan mengapa Undang-Undang ITE tidak membungkam kebebasan berpendapat sejalan dengan klaim Pemerintah seperti yang dilansir pada laman www.kominfo.go.id oleh Evita Davega tertanggal 3 November 2017 terkait dengan uji materi Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diajukan oleh Habiburokhman yang berprofesi sebagai advokat. Pada laman tersebut selaku perwakilan Pemerintah, Samuel menjelaskan bahwa Pemerintah tidak membatasi kebebasan berpendapat. Akan tetapi kebebasan berpendapat tidak boleh dikeluarkan untuk mengeluarkan kebencian.[8] Sehingga berdasarakan penjelasan tersebut, hal yang dibungkam oleh Undang-Undang ITE bukanlah “pendapat” melainkan “unsur lain yang menyertai pendapat” tersebut. Disamping itu, penjelasan yang dapat dijadikan pedoman pelaksanaan Undang-Undang ITE dapat dilihat pada Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 Tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Pedoman tersebut memuat penjelasan terkait dengan ketentuan pasal-pasal tertentu sehingga meminimalisir peluang multitafsir, mulai dari ketentuan tentang kesusilaan yang harus disesuaikan dengan konteksnya, tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang harus dibuktikan apakah murni ditujukan untuk menyerang kehormatan dan tentang berita bohong yang harus dibuktikan kebenaran berdasarkan fakta yang ada.

Kedua, alasan mengapa Undang-Undang ITE dapat membungkam kebebasan berpendapat merupakan pengaruh dari sikap pragmatis yang berasal dari kesimpulan atas peristiwa yang dialami oleh masyarakat dengan melihat begitu banyaknya pihak yang terjerat kasus pelanggaran Undang-Undang ITE. Selain itu, dikarenakan perkembangan ITE di Indonesia juga yang masih terus mengalami perkembangan dan cenderung tidak merata di setiap wilayah. Sehingga, untuk mengatasi hal tersebut diperlukan para penegak hukum yang berkompeten dan juga para ahli yang menguasai bidang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menghindari terjadinya kriminalisasi.

Jadi pada pokoknya, Undang-Undang ITE tetap memberikan kebebasan berpendapat bagi seluruh pihak. Tetapi kebebasan tersebut bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya. Karena kebebasan yang dimaksud ialah masih tetap pada koridornya dan juga sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada ditengah-tengah bangsa Indonesia. Selain itu, Undang-Undang ITE juga menuntut kita agar mampu mempertanggungjawabkan setiap pendapat yang telah kita kemukakan. Maka dengan begitu, ketika terjadi ketidaksesuaian pendapat, baik antar individu maupun dengan pemerintah dan sebaliknya bukan berarti kita tidak boleh membantah ataupun menentangnya. Akan tetapi, hal yang dapat dibantah ataupun ditentang ialah terbatas hanya pada pedapatnya, argumennya, opininya maupun program dan kebijakannya, bukan justru menyerang pribadi atau subjeknya.


[1] Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

[2] https://kbbi.kemendikbud.go.id/entri/pendapat

[3] https://www.antaranews.com/berita/2055358/survei-573-persen-anak-muda-nyatakan-uu-ite-perlu-direvisi

[4] https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190628072024-185-407221/kasus-uu-ite-pada-2018-tercatat-paling-banyak

[5] https://nasional.tempo.co/read/843912/sidang-ahok-ahli-digital-forensik-sebut-bukti-video-asli

[6] https://nasional.kompas.com/read/2019/03/07/20054181/peneliti-icw-video-robertus-dipotong-konteksnya-jadi-sangat-berubah?page=all#page2

[7] Bandingkan dengan https://www.idntimes.com/news/indonesia/axel-harianja/ini-orasi-lengkap-robertus-robert-dalam-aksi-kamisan-depan-istana/2 dan videonya dapat dilihat pada kanal YouTube Jakartanicus “Karena Kita Warga Republik!” https://www.youtube.com/watch?v=xEIxpIhpUrM pada menit 0:32 - 057

[8] https://www.kominfo.go.id/content/detail/11267/pemerintah-klaim-uu-ite-tidak-batasi-kebebasan-berpendapat/0/sorotan_media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *